Setelah berkunjung ke Studio pada hari Minggu, Saya dan
Syamsuddin Simmau punya ide. Pertemuan dan diskusi tentang penulisan literasi
dan sastra harus di galakkan kembali di kota Makassar. Setelah Abdul Rasyid
Idris melakukan diskusi terbatas tentang kisah biduk rumah tangganya dalam
suatu catatan yang akhirnya berhasil dibukukan dan kemudian dipersembahkan
untuk sang istri.
Menurut pengamatan saya dan diskusi dengan beberapa orang’ diskusi
tentang literasi ini harus sering diadakan, belakangan ini kita lebih sibuk
mengurus tentang politik dll, sudah pun jarang terjadi lagidiskusi dan kegiatan
pendokumentasian beberapa kejadian perkembangan wacana kota dalam suatu catatan
atau buku.
Alwi Rahman dalam suatu bincang—bincang di dalam ruangannya
membagi kekuasaan seperi ini” ada penguasa birokrasi ada juga penguasa
literasi. Pramoedya pun ikut juga disebut bahwa’ meski tak berkuasa tapi anda
harus menguasai narasi. Begitlah kira-kira arahnya mengapa kita harus menulis
dan bercerita. Suatu bangsa yang besar tak lepas dari beberapa cerita yang
mengiringinya, lalu kemudian disebut sejarah.
Mari kita kembali di hari yang telah lalu beberapa hari
setelah beberapa kejadian inspiratif di kota ini. Tepatnya hari Kamis saya kemudian
menuju rumah Syamsuddin Simmau, dengan maksud untuk melanjutkan cerita dan
diskusi di rumahnya Pak Anis Kaba. Sekitar jam 10 pagi, matahari bersinar
rupanya cukup bisa mengeringkan sekejap cucian anda di halaman terbuka. Kamipun
berangkat terpisah, karena saya balik lagi ke rumah Syamsuddin Simmau karena
Handphone saya yang diisi daya terlupakan sejenak. Syamsuddin Simmau dan saya
terpisah di jalan dan berjanji akan bertemu di rumah Pak Anis saja.
Saya pun tiba dengan santai di gang kecil jalan Kancil pun
namanya. Rumah Nampak sepi, Syamsuddin Simmau belum tiba. Saya menunggu di
depan rumah karena baru saja Syamsuddin Simmau berpesan lewat Handphone saya”
saya singgah di ATM dulu Ndik’. Tak lama berselang beliau Nampak di ujung
gerbang lorong dengan motor biru yang Nampak baru lagi, sepertinya habis
dicuci. Kak Syam langsung membuka pintu paar dan memarkir motor di halaman
penuh bunga rumah Pak Anis. Saya pun juga demikian, karena maklum jalan sangat
sempi, kendaraan harus diparkir tepat dan efisien agar tak menghalangi jalan
orang-orang.
Pak Anis tak lama kemudian mendengar pintu diketuk dan segera
menyapa kami. Saya sudah kali kedua datang disini, selalu pun disuguhi susu
hangat. Kami selalu memilih tempat terbuka untuk berbincang agar pikiran pun demikian
terbuaknya jua. Teras depan rumah Pak Anis yang dipenuhi bunga kini juga tengah
dipenuhi dengan suara dari pikiran tiga orang.
Kak Syam pun tanpa terlalu panjang lebar menjelaskan maksud
kedatangan kami kepada Pak Anis. Pak kami bermaksud mengadakan acara pembacaan
puisi dan diskusi sastra pada ulang tahun bapak minggu depan. Kami mempunyai
dua pilihan tempat terbuka, pertama di dekat danau UNHAS dan kedua di Danau
Ballang Tonjong. Dalam diskusi itu akan diundang beberapa teman untuk terlibat
membuat dan membacakan puisi singkat tentang Pak Anis. Pak Anis minggu depan
akan berusisa 71 Tahun, dan beliau masih setia dengan beberpa koleksi
pustakanya dan terus memperbarui beberapa perbendaharaan pikirannnya. Betul
juga, pak Anis langsung mengambilkan kami buku tentang music dan beberapa
cerita menarik tentang kota Makassar. Sambil mengalihkan pembicaraan inti kami.
Rupanya Pak Anis sedikit tak sepakat dengan rencana kami
mengadakan diksusi di ruang terbuka. Beliau sepertinya agak risih jika ulang
tahunnya harus diadakan sedemikian. Nanti banyak orang yang repot lagi untuk
datang. Bagaimana kalau diadakan disini saja dan cukup mengundang beberapa
orang saja. Dan kita bisa berdoa dengan saksama di ruang penuh bunga ini.
Meski usulan kami tak diterima tapi karena ada usulan lain
sepertinya kami punlalu meninmbang-nimbang ide Pak Anis tersebut. Karena acara
ini memang diuntukkan untuk beliau. Karena ia begitu telah mengabdikan
perjalannnya dengan setumpuk narasi tentang bangsa ini.
Baru-baru ini Pak Anis juga telah dikunjungi oleh beberapa
aktiis perempuan dan ada orang keturunan Belanda. Menurut informasi. Rupanya
kemerdekaan Indonesia di tahun 45 bermasalah di Negeri bunga tulip itu. Belanda
hanya mengkui kemerdekaaan Indonesia setelah masa 1949, bukan seperti yang
sering diperingati sekarang ini.
Tak terasa bertiga, waktu telah berada pada pukul 02 siang,
kami sepertinya akan pamit dan mengambil beberapa keputusan menarik. Itu pun
terjadi setelah ditutup dengan beberapa kisah-kisah menarik Pak anis di Manado.
Saya dan Syamsuddin Simmau menruskan perjalanan ke Jalan Kakatua menemui Pak
Hendra yang membuka kioas Handphone di depan kantor pos.
No comments:
Post a Comment
Thanks and thanks for all